ARTIKEL ICW
Wajah Sang Juru Selamat
Tanggal: 2013-02-12
Kategori: Other
Kisah hidup Fanny J. Crosby (1820-1915)
Fanny J Crosby merupakan seorang penulis himne dan penyair wanita. Karyanya lebih dari 8000 lagu yang sampai sekarang masih dinyanyikan dengan penuh semangat. Sebagian karyanya antara lain "Blessed Assurance" ('Ku Berbahagia, KJ 392), "Safe in the Arms of Jesus" (Selamat di Tangan Yesus, KJ 388), "Pass Me Not, O Gentle Saviour" (Mampirlah, Dengar Doaku, KJ 26), dan "Jesus, dan Keep Me Near the Cross" (Pada Kaki SalibMu, KJ 368). Setiap lagu yang diciptakannya merupakan bukti kecintaannya terhadap Yesus.
Masa Kecil
Fanny dilahirkan pada 24 Maret 1820 dari pasangan John dan Mercy Crosby. Pada bulan Mei 1820, ketika masih berusia 6 minggu, ia terkena demam dan matanya agak terganggu. Dokternya di Putnam County, New York, kota tempat ia tinggal, sedang keluar kota. Saat itu, ada seseorang yang mengaku sebagai dokter, salah memberikan pengobatan kepadanya dan ia tak bisa melihat lagi. Orang itu lari meninggalkan kota karena panik.
Orang tua Fanny adalah orang Kristen yang taat. Mereka membesarkan Fanny menjadi anak mandiri. Orang yang memunyai pengaruh kuat pada masa kanak-kanak Fanny adalah neneknya. Sebagai wanita yang cerdas dan sabar, ia sering mengajak Fanny berjalan-jalan di alam terbuka, menceritakan setiap kuntum bunga dan daun-daun secara sangat rinci dan Fanny mempelajarinya dengan sentuhan-sentuhan jarinya. Ia pula yang memperkenalkan Fanny pada karya-karya sastra dan puisi. Dan, yang terpenting, ia membacakan cerita-cerita dari Alkitab setiap hari.
Walaupun mendapat pendidikan dengan penuh perhatian, kehausan Fanny akan pengetahuan tak pernah terpuaskan. Ingatannya sangat luar biasa. Pada usia 10 tahun, ia dapat mengingat sebagian besar Perjanjian Baru dan lima kitab Perjanjian Lama. Sayangnya, sekolah pada masa itu belum dilengkapi dengan perangkat untuk mengajar orang buta, sehingga ia tidak dapat memperoleh pendidikan umum.
Mulai Bersekolah dan "Mengalami" Tuhan
Fanny berlutut bersama neneknya dan berdoa, "Tuhan yang Mahabaik, tunjukkan pada saya bagaimana saya dapat belajar seperti anak-anak lain." Tak lama kemudian, ibunya menyampaikan berita menggembirakan tentang kesempatan untuk masuk ke institut bagi orang buta di New York.
Dalam tahun itu juga, ia menjadi siswi terbaik dan setelah lulus ia menjadi guru di situ. Minat utamanya adalah pada puisi dan pada waktu senggang ia menuliskan puisi. Ketika Fanny berusia 20 tahun, ia terkenal di New York dan menjadi pembicara yang banyak dicari untuk kutipan-kutipan puisi maupun untuk upacara-upacara resmi.
Walaupun populer, ia merasakan ada sesuatu yang kurang pada hidupnya. Wabah kolera yang hebat, pada tahun 1849, menunjukkan padanya sesuatu yang kurang itu. Lebih dari separuh siswa siswi di Institut mati, salah satunya mati di pelukannya. Setelah membantu merawat mereka yang sakit selama beberapa bulan, ia hampir tertular oleh penyakit itu dan ia mengungsi ke luar kota.
Kematian teman-teman dekatnya sangat mengguncangkan Fanny. Di lubuk hatinya, ia tahu bahwa ia belum siap untuk mati. Pada 20 November 1850, ia berlutut di depan mimbar gereja dan memberikan hatinya kepada Yesus. Penulis biografi Basil Miller menceritakan kata-katanya: "Untuk pertama kalinya, saya menyadari bahwa saya telah mencoba memegang dunia di salah satu tangan dan Tuhan di tangan yang lain." Akhirnya, Tuhan yang diperkenalkan oleh neneknya menjadi nyata baginya.
Mulai Membuat Lagu
Puisi-pusinya mencerminkan perubahan di hatinya dan lagu-lagu pujian menggantikan puisi-puisinya. Ketika ia bertemu dengan komponis Kristen, William Bradbury, pada tahun 1864, mereka segera bersahabat. Bradbury membuat lagu-lagu bagi banyak syair Fanny; walaupun ia bekerja dengan banyak komponis, kerja sama mereka yang paling erat.
Fanny biasanya menciptakan puluhan lagu di kepalanya sebelum ia mendiktekannya pada sekretarisnya, tetapi bagaimana pun ia mencipta, ia selalu menggunakan cara yang sama. Ia menyebutkan caranya: "Mungkin cara ini kuno, yaitu selalu memulai pekerjaan dengan berdoa. Saya tak pernah menuliskan lagu tanpa meminta pada Tuhan untuk menjadi sumber inspirasi saya."
Ia menerima banyak undangan untuk menjadi pembicara, sehingga ia kewalahan. Orang terkenal. Seperti Presiden Polk sering memanggilnya. Dengan memiliki banyak teman dan relasi, ia tak pernah merasa kesepian. Pada tahun 1858, Tuhan memberikan padanya seorang yang istimewa dalam kehidupannya, yaitu musisi buta Alexander Van Alstyne. Mereka menikah selama 44 tahun dan memunyai seorang anak yang meninggal pada waktu bayi.
Pada akhir masa hidupnya, Fanny tetap sibuk seperti biasa, bukan hanya dengan menulis lagu. Ia menaruh perhatian pada mereka yang kurang beruntung dan ia bekerja sukarela pada pusat pelayanan lokal. Bila ada seseorang yang datang padanya dengan pertanyaan atau keperluan, ia selalu menemuinya secara pribadi dan membagikan padanya terang firman Allah.
Semasa hidupnya, tentang kebutaannya, seorang pendeta dengan rasa simpatik bertanya kepadanya, "Saya rasa, sungguh membangkitkan belas kasihan. Sang Pencipta tidak memberi Anda penglihatan, padahal Ia memberikan banyak karunia lain pada Anda."
Dengan tangkas Fanny menjawab, "Tahukah Anda, seandainya saat lahir saya bisa mengajukan permohonan, saya akan meminta, agar saya dilahirkan buta."
"Mengapa?" tanya pendeta itu terperanjat.
"Karena bila saya naik ke surga nanti, wajah pertama yang akan membangkitkan sukacita dalam pandangan saya adalah wajah Sang Juru Selamat!"
Fanny wafat dengan tenang di rumahnya di Bridgeport, Connecticut, pada 12 Februari 1915. Banyaknya orang yang datang saat pemakamannya merupakan bukti pengaruhnya yang luas, yang dimilikinya bagi Tuhan. Kata-kata ini berasal dari salah satu lagunya (Saved by Grace) yang menyatakan hal yang paling diharapkannya: "And I shall see Him face to face and tell the story –- saved by grace. (Dan, aku akan bertemu muka dengan-Nya dan menuturkan kisah -- diselamatkan oleh anugerah.)"
Tinggalkan komentar Anda...ke atas |